Kisah Abu Hanifah Membela Diri dari Fakih Ahlul Bait disebutkan dalam beberapa kitab. Suatu ketika Imam Abu Hanifah (150 H) bertemu dan berdialog dengan Imam Muahmmad Al-Baqir (114 H), beliau (Imam Al-Baqir) adalah seorang guru dan fakihnya Ahlu Bait. (Ada yang mengatakan bahwa yang berdialog itu Zaid bin Ali Zainal-‘Abidin (122 H), adik dari Imam Muhammad Al-baqir).
Ketika itu Imam Abu Hanifah memang sudah dikenal sebagai salah satu dari Fuqaha’ Al-‘Iraq (ahli fiqih Iraq), ada juga yang menyebutnya sebagai faqih Al-Kufah yang terkenal banyak menggunakan Qiyas dalam mengistinbath sebuah hukum syariah.
Sayangnya, kabar penggunaan Qiyas dan juga Ra’yun (Istihsan) sering dianggap negatif oleh sebagian orang ketika itu, sehingga Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama fiqih Iraq sering sekali dituduh sebagai ulama yang banyak meninggalkan Atsar/Hadits dalam menentukan sebuah hukum syariah. Padahal hakikatnya tidaklah demikian.
Kabar itu sangat membuat Imam Muhammad al-Baqir marah, akhirnya imam Al-Baqir bertemu dengan Abu Hanifah dalam salah satu perjalanan hajinya. Imam Abu Hanifah yang memang sudah tahu kebesaran dan keluasan ilmu Imam Muhammad Al-Baqir langsung mendatanginya dan mempekenalkan diri. Kemudian Imam Muhammad Al-Baqir bertanya:
“kamu yang bernama Nu’man bin Tsabit yang dari kufah itu? Kamu yang merubah agama kakekku (Nabi Muhammad saw) dengan Qiyas?”
Imam Abu Hanifah menjawab; “Maadzallahu. Aku sama sekali tidak pernah merubah agama kakek anda wahai guru dengan Qiyas! Aku menggunakan Qiyas pada perkara yang memang tidak ada dalilnya dari al-Quran dan Sunnah serta Qaul Sahabi”
Imam Abu Hanifah meneruskan: “sebagai bukti kalau aku tidak merubah agama Muhammad saw dengan Qiyas, aku punya 3 pertanyaan untuk anda wahai tuan guru! Mana yang lebih lemah, laki-laki atau wanita?”
Imam Muhammad Al-Baqir menjawab: “wanita lebih lemah dari laki-laki!”, Imam Abu Hanifah: “baik, agama kakekmu mengatakan bahwa untuk laki-laki itu 2 jatah (waris), dan wanita satu jatah. Dan aku pun mengatakan demikian, sama seperti kakekmu. Kalau seandainya aku menggunakan Qiyas, pastilah aku katakan bahwa wanita dapat jatah 2 dan laki-laki satu, karena wanita itu lebih lemah dari laki-laki. Karena ia lemah maka pantas untuk mendapat lebih. Tapi aku tidak katakan demikian.”
Imam Abu Hanifah: “kedua, mana yang lebih afdhal, puasa atau shalat?”, Imam Muhammad Al-Baqir: “tentu shalat lebih afdhal dari puasa!”.
Imam Abu Hanifah: “ya. Shalat lebih afdhal dari puasa. Agama kakekmu bilang bahwa wanita yang haidh tidak mengqada shalatnya tapi mengqadha puasanya. Dan akupun berpendapat seperti apa yang dikatakan oleh kakekmu. Kalau seandainya aku menggunakan Qiyas, pastilah aku katakan wanita haidh harus mengqada shalatnya bukan puasanya, karena shalat lebih afdhal dari puasa.”
Imam Abu Hanifah: “ketiga, mana yang lebih najis, air mani atau air kencing?”, Imam Al-Baqir: “air kencing lebih najis dari air mani.”
Imam Abu Hanifah: “ya. Air kencing lebih najis daripada air mani. Agama kakekmu juga katakan bahwa cukup wudhu untuk air kencing dan harus mandi (janabah) untuk air mani. Dan akupun mengatakan demikian! Kalau seandainya aku menggunakan Qiyas, pastilah aku akan mengatakan bahwa untuk air kencing mandi, dan untuk air mani cukup wudhu saja, karena air kencingl ebih najis daripada air mani. Tapi aku tidak katakana begitu!”
Mendengar jawabannya itu, Imam Muhammad bin Ali langsung memeluk Imam Abu Hanifah An-Nu’man dan mencium keningnya. Wallahua'lam.
0 Comments